Sosialisasi PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah)

PLTSa – Solusi Sampah Kota Bandung Oleh : Tim Sosialisasi PLTSa Kota Bandung (BAPPEDA, BPLH, PD Kebersihan, PT. BRIL, Tim FS dan AMDAL PLTSa – ITB) Sejak

Sysadmin Sabtu, 13 Agustus 2016 09:34
Sosialisasi PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah)
Sosialisasi PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah)

PLTSa – Solusi Sampah Kota Bandung

Oleh :
Tim Sosialisasi PLTSa Kota Bandung
(BAPPEDA, BPLH, PD Kebersihan, PT. BRIL, Tim FS dan
AMDAL PLTSa – ITB)

Sejak TPA Leuwigajah Cimahi longsor dan menimbulkan korban jiwa, Kota Bandung sulit untuk membuang sampah karena tidak adanya lokasi TPA yang memadai. Di satu sisi, produksi sampah terus berlangsung dan memerlukan penanganan segera. Dengan kondisi tersebut, Pemerintah Kota terus berupaya mencari TPA pengganti yang representatif dan dapat dipergunakan untuk jangka panjang. Beberapa daerah sempat dijadikan TPA (yaitu Jelekong, Cicabe, Cikubang, dan yang terakhir Sarimukti), namun semuanya hanya bersifat sementara karena keterbatasan kapasitas lahan. Dengan kata lain penyelesaian permasalahan sampah untuk jangka panjang di Kota Bandung belum terselesaikan.

Adapun sistem open dumping (dibiarkan ditumpuk) atau sanitary landfill (ditimbun tanah) mempunyai beberapa kelemahan, seperti sulitnya pengendalian jika volume sampah sudah menggunung, polusi udara, produksi gas methan yang membahayakan, serta ancaman bahaya longsor. Dengan pertimbangan tersebut, perlu diterapkan suatu pendekatan teknologi ramah lingkungan yang mampu menyelesaikan permasalahan sampah dari hulu hingga hilir. Maka ketika sejumlah pengusaha, para pakar, dan Pemkot Bandung beraudiensi lalu presentase di Hotel Grand Aquila Bandung, 16 Maret 2005, Waste to Energy atau PLTSa mendapat dukungan penuh dari berbagai kalangan. Sebab selain dapat menguntungkan karena bisa menjadi sumber energi, juga bisa memperkecil volume sampah dan juga teknik yang ramah lingkungan dibanding cara penanganan sampah konvensional selama ini dengan menggunakan open dumping dan sanitary landfill .

Kebijakan Pemerintah Kota Bandung untuk membangun pabrik pengolahan sampah menjadi energi listrik adalah salah satu upaya dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah persampahan di Kota Bandung yang semakin sulit dan berat. Dengan upaya ini, diharapkan nantinya kita tidak lagi tergantung kepada salah satu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ada di wilayah luar Kota Bandung.

Rencana PLTSa yang akan dibangun telah melalui proses studi kelayakan (termasuk di dalamnya Analisa Dampak Lingkungan; AMDAL) yang dilakukan melalui kerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Sedangkan mengenai rencana lokasi pembangunannya, hal tersebut didasarkan pada Rancana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Bandung. Dalam pembangunan PLTSa di Gede Bage, BPLH sebagai Ketua Tim Penguji AMDAL berpedoman pada:

  1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
  2. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
  3. Peraturan Pemerintah RI No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara;
  4. Peraturan Menteri Lingngan Hidup No. 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyusunan AMDAL;
  5. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 11 Tahun 2006 Tentang Jenis Rencana Kegiatan/Usaha Yang Wajib Dilengkapi dengan AMDAL;
  6. Keputusan Kepala Bappedal No. 8 Tahun 2000 Tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL;

 

Perlu diketahui bahwa setiap pembangunan akan menimbulkan resiko, baik dampak positif maupun negatif, termasuk pembangunan PLTSa. Oleh karena itu, PLTSa Gedebage juga wajib dilengkapi AMDAL yang akan dinilai oleh Tim Komisi AMDAL (terdiri dari instansi terkait, masyarakat terkena dampak langsung kegiatan, LSM, Perguruan Tinggi, dan pakar lingkungan) sehingga PLTSa diharapkan mampu menjadi tempat pengelolaan sampah dengan tetap mempertahankan kualitas dan kelayakan lingkungan.

Sanitary Landfill dan Kompos

Seperti yang kita ketahui bersama, Kota Bandung mengalami permasalahan sampah karena tidak adanya ruang untuk pembuangan akhir ( landfill ). Solusinya, sampah harus dimusnahkan. Proses pemusnahan sampah dengan mengandalkan pembusukan alami oleh bakteri pada landfill akan memakan waktu yang cukup lama. Selain itu akan dihasilkan gas metan (50 - 60%), CO 2 (40 – 50 %), yang dapat menimbulkan efek pemanasan global, gas-gas beracun lainnya seperti NOx, Sulfur bahkan gas radioaktif tritium. Selain itu landfill akan mengeluarkan bau dan air lindi yang mencemari air tanah dan sungai.

Karena menimbulkan banyak polusi dan masalah, Uni Eropa pada tahun 1999 mengeluarkan ketentuan ( Directive no. 1999/31/EG) yang melarang pembuangan sampah organik dan sampah berbahaya ke landfill . Sampah organik harus diolah dulu secara mekanikal, biologi, dan atau termal (MBT) sebelum dibuang ke landfill, sehingga yang boleh dibuang ke landfill adalah abu hasil pembakaran atau kompos. Untuk memenuhi target yang ditetapkan oleh ketentuan tersebut, negara-negara Eropa mengubah cara pengelolaan sampah mereka dari landfill, ke teknologi yang lebih bersih yaitu PLTSa pembakaran langsung. Saat ini sekitar 409 PLTSa pembakaran langsung beroperasi di Eropa Barat.

Adapun pemanfaatan sampah menjadi kompos, selama ini terbukti kurang efektif, selain proses pembuatannya lama (sehingga tidak dapat mengimbangi laju produksi sampah), juga diperlukan lahan yang luas. Apalagi sampah yang dihasilkan di Kota Bandung cukup besar, yaitu ± 500 ton/hari. Selain itu penggunaan kompos untuk media tanaman akan tersaingi oleh limbah biomasa lain yang lebih seragam dan lebih bersih, seperti sekam padi, limbah kayu dan dedaunan dari perkebunan dan hutan, limbah kelapa sawit, limbah tebu, limbah kelapa, dsb yang jumlahnya di Jawa Barat saja mencapai jutaan ton per tahun. Kompos dari sampah kota yang sudah tercampur dengan komponen lain, sangat tidak dianjurkan untuk digunakan pada tanaman pangan karena mengandung racun dan logam berat. Hal-hal tersebut menyebabkan pabrik kompos dari sampah kota dalam skala besar saat ini belum dapat dioperasikan secara komersial. Sebaliknya PLTSa dengan pembakaran langsung memusnahkan sampah dengan cepat dan efektif, dan menghasilkan listrik yang hasil penjualannya dapat digunakan untuk menutupi sebagian biaya operasional.

Perubahan pengolahan sampah dari landfill ke PLTSa pembakaran langsung diakui dapat mengurangi emisi gas-gas rumah kaca (Pengakuan dan metoda perhitungannya tercantum dalam dokumen UNFCCC nomor AM0025). Dengan demikian pembangunan PLTSa Gedebage sejalan dengan Bali Roadmap, dan merupakan salah satu usaha untuk mencegah terjadinya perubahan iklim. Menurut EcoSecurity, konsultan CDM yang berbasis di Eropa, dengan adanya PLTSa Gedebage dapat dicegah minimal 150.000 ton CO 2 eq emisi pertahun.

Dioksin

Dioksin adalah senyawa yang terbentuk dari adanya karbon, hidrogen, oksigen, khlor dan panas. Oleh sebab itu sebenarnya setiap hari kita terpapar oleh dioksin dari hasil pembakaran kendaran bermotor, pembakaran sampah di rumah-rumah, kebun, TPS dan TPA, pembakaran sate, api ungun, kebakaran hutan, PLTU, tumpukan kompos, tumpukan sampah oganik yang membusuk, dsb. Manusia bisa teracuni Dixon melalui makanan utamanya susu dan daging yang tercemar dioksin, dan kecil kemungkinan melalui pernapasan atau kontak melalui kulit. Dioksin tidak larut dalam air dan sangat kuat terikat dengan padatan, oleh sebab itu dioksin dapat dikeluarkan dari gas buang dengan penyaring debu. Dioksin terikat kuat dalam tanah, dan tidak mencemari air tanah. Disungai dan danau, dioksin akan terikat dalam lumpur dan endapan di dasar. Karena tidak larut dalam air, dioksin sulit diserap oleh tanaman. Ternak bisa terpapar dioksin apabila memakan makanan yang mengandung dioksin kadar tinggi dan laju asupan lebih besar dari laju pengeluaran dioksin melalui feces.

Dioksin dapat dihasilkan dari hasil pembakaran komponen sampah yang mengandung Khlor seperti kertas, PVC, dan peralatan elektronik pada temperatur di bawah 400 0 C. Sampah di Bandung dan di Indonesia pada umumnya terdiri dari 60% sampai 70% bahan organik; sebagian besar plastik, kertas dan komponen yang mengandung khlor sudah diambil oleh para pemulung. Dengan komposisi sampah seperti ini semua calon vendor PLTSa Gedebage tidak menganggap dioksin sebagai masalah pencemaran.

Berbeda dengan incinerator yang telah digunakan lebih dari 30 tahun yang lalu, pembakaran dilakukan di atas temperatur 850 0 C dan dilengkapi dengan pengolahan gas racun sehingga kadar Dioksin dan gas beracun lainnya yang teremisi ke udara lebih rendah dari PLTU Batu Bara. Sampah akan terbakar tanpa bantuan bahan bakar tambahan. Namun demikian, untuk menjaga temperatur pembakaran di atas 850 0 C, tungku pembakaran dilengkapi dengan burner berbahan bakar minyak. Pada keadaan normal, burner hanya beroperasi pada waktu start up dan shut down saja . Setelah digunakan lebih dari 20 tahun diseluruh dunia belum ada korban pencemaran dioksin dan gas beracun lainnya pada manusia dari PLTSa.

back.gif