Sosialisasi PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah)

Adapun pencemaran yang terjadi di Kota Seveso Italy pada tahun 1976 disebabkan adanya kebakaran pada pabrik pestisida dan herbisida yang mengakibatkan beberapa

Sysadmin Sabtu, 13 Agustus 2016 09:34
Sosialisasi PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah)
Sosialisasi PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah)

Adapun pencemaran yang terjadi di Kota Seveso Italy pada tahun 1976 disebabkan adanya kebakaran pada pabrik pestisida dan herbisida yang mengakibatkan beberapa zat kimia (diantaranya dioksin) terlepas ke udara. Zat kimia yang terlepas membentuk awan dengan kadar dioksin ribuan kali dari dioksin yang dihasilkan PLTSa dan mencemari daerah seluas 18 Km 2 . Sedangkan kecelakaan yang terjadi di Bhopal bukanlah PLTSa, melainkan pabrik pestisida dimana tanki yang berisi 40 ton methyl isocyanate (C 2 H 3 NO) bocor dan meracuni penduduk sekitar. Pada PLTSa Gedebage tidak ada bahan kimia yang disimpan, yang ada hanyalah sampah, air, sedikit batu kapur dan karbon aktif. Sistem PLTSa sama persis dengan PLTU dan sampai saat ini belum ada kecelakan besar pada PLTU di Indonesia.

PLTSa Gede Bage akan mengemisi dioksin kurang dari 1 ng/m3. Dengan demikian dalam sehari akan teremisi paling banyak 2,4 mili gram, atau selama 25 tahun umur operasi, PLTSa Gedebage hanya akan mengemisi 22 gram dioksin yang tersebar di 2340 km 2 wilayah cekungan Bandung (apabila diasumsikan pencemaran tidak keluar dari wilayah cekungan Bandung), atau 1,3 mikro gram/km2/hari. Apabila diasumikan kepadatan di cekungan Bandung adalah 10000 jiwa/km 2 (sama dengan kepadatan kota Bandung), maka nilai emisi dioksin adalah 3.7 pico gram per orang per hari per kg berat badan. Nilai tersebut masih berada di bawah batas paparan dioksin yang ditetapkan WHO yaitu 4 pico gram per hari per kg berat badan. Nilai paparan aktual tentunya akan lebih kecil kerena tidak semua dioksin yang teremisi akan tertelan manusia. Hasil simulasi penyebaran pencemaran udara yang dilakukan tim AMDAL ITB menunjukkan bahwa pencemaran udara dapat ditekan dibawah baku mutu dengan mengatur ketinggian cerobong.

Di Indonesia, belum ada ketentuan mengenai pencemaran dioksin, sehingga belum ada baku mutu pencemaran, metoda pengukuran baseline maupun actual , dan lembaga mana yang berwenang melakukannya. Meskipun demikian, tim FS ITB telah memasukan biaya pengukuran dioksin dan limbah lainnya sebesar Rp. 500 juta setahun dalam kelayakan bisnis PLTSa Gedebage. Disamping itu Tim AMDAL akan mengeluarkan rekomendasi baku mutu emisi dan efluen sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia (Keputusan kepala Bapedal No. 03/Bapedal/09/1995, tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah B3). Baku mutu yang tercantum dalam ketentuan itu sebenarnya adalah baku mutu untuk incinerator limbah B3, dan lebih ketat dari baku mutu emisi dan efluen PLTSa di di Amerika dan Cina. Sedangkan baku mutu emisi dioksin direkomendasikan sama atau lebih kecil dari baku mutu emisi dioksin Cina (antara 0,1 s/d 1 ng/m3). Baku mutu ini lebih kecil dari baku mutu emisi dioksin di Amerika.

Ada beberapa poin penting yang menjadi pertimbangan Tim Sosialisai PLTSa Kota Bandung untuk membangun PLTSa Gedebage. Pertama , PLTSa sebenarnya lebih berfungsi sebagai pabrik pemusnahan sampah dari pada pembangkit listrik. Listrik yang dihasilkan dan dijual ke PLN hanya untuk menutupi sebagian biaya operasi.

Kedua, di seluruh kota di dunia pabrik pengolahan sampah yang dikelola swasta memunggut biaya dari pihak yang sampahnya ingin diolah/dimusnahkan. Besarnya biaya pengolahan bergantung pada teknologi yang digunakan, semakin tinggi teknologi yang digunakan semakin mahal biaya pengelolaan sampah. Pembuangan sampah dengan metoda open dumping yang digunakan di kota-kota di Indonesia nyaris tidak menggunakan teknologi. Dengan demikian biaya pengolahannya tidak dapat di bandingkan dengan biaya pengolahan sampah di PLTSa. Biaya pengolahan sampah haruslah di bandingkan dengan manfaat dan nilai yang diperoleh dari kebersihan kota.

Ketiga , Biaya pengelolaan PLTSa Gede Bage diharapkan lebih murah daripada di PLTSa luar negeri. Sebagai gambaran, di Singapura pemerintah kotanya harus membayar 80 dolar (Rp. 400.000,-) per ton kepada PLTSa swasta. Di Cina biaya pengolahan sekitar 100 s/d 200 Yuan kepada PLTSa milik pemerintah atau semi pemerintah dan 250 s/d 300 Yuan pada PLTSa milik swasta (1 Yuan = Rp. 1300,-).

Keempat , Ketentuan mengenai kepemilikan pembangkit listrik dan listrik yang dihasilkan diatur dalam UU No. 15 tahun 1985, PP No 10 tahun 1989, Permen ESDM nomor 1 dan nomor 2 tahun 2006, yang pada intinya menyatakan pihak swasta boleh memiliki pembangkit listrik dan listrik dari PLTSa wajib dibeli oleh PLN, karena dapat dianggap sebagai pembangkit listrik energi terbarukan di bawah 10 MW. Perjanjian kerjasama dengan PLN yang berisi hal-hal tersebut di atas sedang berlangsung, dan beberapa pertemuan dengan pihak terkait telah dilakukan.

Kelima , Pemerintah Kota bersama pengembang akan sangat berhati-hati dalam melakukan pemilihan jenis teknologi, manufacturer , dan kualitas produk. Dengan nilai investasi ratusan milyar dan masa pengembalian yang lambat, tentunya kita tidak menginginkan terjadinya pencemaran yang mengancam penduduk Bandung.

Keenam , Untuk menjamin kualitas pabrik yang dibangun, sebelum kontrak berakhir pihak vendor berkewajiban untuk mengoperasikan selama satu sampai dua tahun, dan melakukan pengujian yang diperlukan untuk memastikan pabrik beroperasi dengan baik dan emisi yang dihasilkan di bawah baku mutu yang disepakati.

back.gif