Sosialisasi Pengelolaan Limbah Medis dan B3 di Kota Bandung

Kota Bandung merupakan kota besar dengan prasarana dan sarana pelayanan kesehatan memadai. Namun Kota Bandung juga menyimpan potensi kegiatan yang menghasilkan

Hari Sabtu, 13 Agustus 2016 09:36
Sosialisasi Pengelolaan Limbah Medis dan B3 di Kota Bandung
Sosialisasi Pengelolaan Limbah Medis dan B3 di Kota Bandung

Kota Bandung merupakan kota besar dengan prasarana dan sarana pelayanan kesehatan memadai. Namun Kota Bandung juga menyimpan potensi kegiatan yang menghasilkan pemcemaran lingkungan khususnya limbah medis dan bahan berbahaya beracun (B3) lainnya. Karena sifat, konsentrasi dan jumlahnya, terlebih tidak dikelola dengan baik dan benar, tidak saja dapat mencemari dan merusak lingkungan tapi juga mengancam kesehatan dan keseimbangan ekosistem.

“Kegiatan industri, rumah sakit, laboratorium, balai pengobatan dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, tidak saja memberikan dampak positif tapi juga menghasilkan limbah. Jika tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan masalah”, kata Wakil Walikota Bandung, Ayi Vivananda dalam acara sosialisasi pengelolaan limbah medis dan limbah B3 di Kota Bandung, bertempat di Aula PT. Biofarma, Jalan Pasteur 28, Senin (8/3).

Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung lanjutnya, akan tetap konsisten menangani limbah medis dan limbah B3, antara lain melakukan sosialisasi dan memberi sanksi bagi yang melanggar. “Ini untuk melindungi masyarakat dari kelalaian dan ketidakmampuan. Bayangkan dan apa yang akan terjadi jika jarum suntik, benda-benda medis bekas operasi, potongan organ dibuang di tempat sampah, ditemukan pemulung di tempat sampah”, ungkapnya.

Secara faktual dikatakannya, limbah medis dan B3 merupakan konsekuensi peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan, maka penanganannya pun harus dalam kerangka memelihara derajat kesehatan masyarakat pula. “Itupun harus dilakukan sesuai prosedur dan ketentuan perundang-undangan. Regulasi dimaksudkan sebagai pengawasan sekaligus kontrol jangan sampai digunakan orang yang tidak berkompeten.

Penanganan limbah medis dan B3, ditandaskan Ayi, harus terus diupayakan khususnya terkait penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan, penimbunan atau pemusnahan, agar limbah ini benar-benar aman bagi siapapun. Untuk itu diperlukan pemahaman dan kesadaran seluruh Stakeholder khususnya pelaku industri dan instalasi layanan kesehatan sebagai wujud tanggung jawab memelihara lingkungan.

Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung, Dandan Riza Wardhana menuturkan, institusinya punya peran terkait pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan. Peran ini meliputi inventarisasi, identifikasi, pemantauan, pengawasan, pembinaan dan pemanggilan sumber pencemar yang menghasilkan limbah B3. Sedangkan terkait regulasi, BPLH punya kewenangan menerbitkan rekomendasi teknis untuk ijin tempat penyimpanan sementara (TPS) limbah B3 dan rekomendasi teknis surat ijin pembuangan air buangan (SIPAB) karena ijin-ijin pengelolaan limbah B3 masih merupakan kewenangan Kementrian Negara Lingkungan Hidup.

Potensi kegiatan yang menghasilkan pencemar limbah-limbah B3, Dadan menyebut sejumlah sumber, antara lain industri, rumah sakit, puskesmas, laboratorium, klinik bersalin, balai pengobatan, trasnpsortasi dan bengkel. Sementara kepemilikan TPS limbah B3, diantaranya industri farmasi hanya 4, rumah sakit (10) dan laboratorium (5). Namun berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan BPLH, hanya 4 yang mengantongi, satu diantaranya PT. Bio Farma.

Kondisi ini menurut Dandan, karena alasan mahalnya biaya pengelolaan yang dirasakan pelaku usaha, juga pemahaman kebijakan dan petunjuk teknis yang berbeda, serta tidak adanya ruang bagi kegiatan pengelolaan limbah cair dan B3 yang memadai. Namun sesuai ketentuan, bagi kegiatan usaha yang diindikasikan mencemari lingkungan, baik yang berasal dari limbah cair maupun limbah B3, BPLH Kota Bandung akan menerapkan Perda 11 Tahun 2005 tentang penyelenggaraan ketertiban, kebersihan dan keindahan.

Untuk itu tandas Dandan, setiap perusahaan atau industri yang menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, wajib menyediakan prasarana dan sarana pengolah limbah. Mengabaikan apalagi membuang atau memasukan pada sumber air yang mengalir atau tidak, dapat dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum sebesar Rp. 50 juta. Ini lebih ringan dari ketentuan Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pelaku perusakan lingkungan hidup, diancam pidana 1 tahun penjara dan denda minimal Rp. 1 milyar.

Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Bandung, dr. Achyani mengakui, kegiatan kesehatan dapat menghasilkan limbah cair maupun padat (medis dan non medis) yang berpotensi mencemari lingkungan dan kesehatan masyarakat karena limbahnya termasuk limbah B3 (PP 85/1999).

Achyani dalam paparannya menuturkan, pemeriksaan terhadap sampel air limbah pada 30 rumah sakit di Kota Bandung di 2008, hasilnya menyatakan 8,60 % tidak memenuhi syarat secara fisika, 27,5 % tidak memenuhi syarat parameter amoniak, 15,5 % tidak memenuhi syarat parameter BOD, 17, 24 % tidak memenuhi parameter COD dan 8,62 % tidak memenuhi syarat secara bakteriologi.

Institusinya dikatakannya sangat berkompeten, terutama pengawasan penyelenggaraan penyehatan lingkungan terhadap sarana penghasil limbah medis. Sesuai kewenangan, bagi sarana pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan penyehatan lingkungan, institusinya tidak saja dapat memberikan teguran tertulis tapi juga pencabutan ijin.

Sarana pelayanan kesehatan, Kota Bandung disebutkannya memiliki sedikitnya 71 puskesmas, 31 rumah sakit, 51 rumah bersalin, 547 balai pengobatan, 45 klinik khusus, 59 laboratorium, 1.038 praktek dokter spesialis, 151 dokter gigti spesialis, 645 praktik dokter umum, 811 bidan dan 15 praktik dokter berkelompok. Pengelolaan limbah medis dan B3 perlu sosialisasi berkelanjutan, koordinasi dan pembinaan institusi terkait, tidak kecuali pengawasan dan penegakkan aturan. (www.bandung.go.id)